Sabtu, 27 Oktober 2012

Menanti ketegasan pemerintah soal kebijakan mobil murah(BI-01-SS-12)



Jakarta (ANTARA Nwqa) Tidak disinggung sedikitpun, bahkan tidak satu kata pun keluar dari bibir Wakil Presiden Boediono tentang mobil murah atau "low cost and green car" (LCGC) pada pembukaan "Indonesia International Motor Show" (IIMS) ke-20 di Jakarta, Jumat (20/9).

Padahal, kebijakan tentang LCGC sedang menjadi pembicaraan hangat, setelah Grup Astra bersama mitranya Toyota dan Daihatsu berani memperkenalkan Agya dan Ayla karya kolaborasi untuk mengikuti program murah.

Mobil berkapasitas 998 cc itu diperkenalkan dalam ajang yang cukup besar, sehari sebelum IIMS yang berlangsung pada 20-30 September 2012 digelar.

Digunakan kata "diperkenalkan" karena Astra bersama dua mitranya itu nampak masih malu-malu memasarkan mobil yang belum jelas akan dapat insentif dari program LCGC, karena kebijakan mengenai itu masih belum keluar.

Grup Astra dan beberapa perusahaan otomotif yang berminat masuk ke program LCGC pasti berharap dan menunggu Wapres Boediono akan menyinggung soal LCGC pada pidato tadi pagi.

Namun, dalam "kuliah" selama hampir 30 menit tersebut, Wapres tidak menyebut sedikitpun tentang mobil murah.

Bahkan dalam 10 menit terakhir pidatonya yang terkait dengan otomotif, ia justru menekankan keinginan pemerintah untuk mendorong pemakaian gas bagi alat transportasi baik publik maupun pribadi.

"Saya mendorong teman-teman di industri otomotif mempromosikan produk baru mereka dengan menggunakan gas," ujarnya.

Wapres juga nampak lebih mendukung rencana pengeluaran kebijakan mobil beremisi rendah, baik untuk mobil hibrid maupun listrik. Ia bahkan menekankan pemerintah akan mendukung pengembangan mobil hibrid dengan kapasitas mesin yang kecil, sehingga bisa menjangkau konsumen yang lebih luas.

"Bukan mobil hibrid mewah," ucapnya. Tidak ada sedikitpun Boediono menyinggung soal soal LCGC.

Siap
Sementara itu, sejumlah produsen otomotif lainnya diluar Grup Astra mengaku siap masuk ke program LCGC, bila pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang jelas, terutama terkait pemberian insentif yang menyertai pengembangan mobil tersebut.

Presdir Mitsubishi Motor Corp Osamu Masuko mengatakan pihaknya menanti kebijakan detail tentang LCGC dari pemerintah Indonesia. Ia mengaku tertarik masuk ke segmen tersebut, karena potensi pasarnya cukup besar.

"Selera konsumen di Indonesia telah berubah. Dulu Toyota Kijang menjadi acuan, sehingga kami juga ikut dengan memasarkan Mitsubishi Kuda," katanya.

Kini, lanjut dia, masyarakat Indonesia cenderung tidak lagi dalam satu mobil, semua anak, pembantu, dan saudara ikut. "Konsumen Indonesia tidak lagi memiliki anak banyak," paparnya.

Ia menilai pasar kendaraan kecil yang kompak bakal menjadi tren. Oleh karena itulah, pihaknya mendorong Mitsubishi Mirage sebagai ikon mobil kecil untuk bersaing dalam tren yang tengah berkembang itu.

"Kalau ada kebijakan pemerintah tentang LCGC yang mirip dengan spesifikasi Mitsubishi Mirage, tentu kami akan mempertimbangkan Mirage menjadi LCGC, atau juga model lain," ujar Masuko.

Oleh karena itu, ia menegaskan tidak tertutup kemungkinan Mitsubishi Mirage yang mengusung mesin 1.200 cc dirakit di Indonesia untuk memenuhi salah satu ketentuan LCGC yaitu mobil tersebut diproduksi di Indonesia dengan kandungan komponen lokal tertentu.

Hal senada dikemukakan Wakil Direktur Nissan Motor Indonesia (NMI) Teddy Irawan. "Kami siap memproduksi kendaraan (LCGC) yang diinginkan," ujarnya.

Namun, ia juga mengaku masih menunggu kebijakan yang jelas dari pemerintah, terutama terkait insentif pembebasan pajak penjualan barang mewah (PPnBM). Menurut dia, hanya dengan paket insentif perpajakan maka harga mobil bisa menjadi lebih murah.

Sementara itu, produsen mobil China yaitu Geely lebih berani mendeklarasikan salah satu mobil kecil warna merah yang dipamerkan di ajang IIMS 2012 sebagai LCGC dengan harga Rp98 juta per unit.

"Saat ini kami memang masih mengimpor mobil tersebut dari China. Namun tidak tertutup kemungkinan kami akan memproduksinya di Indonesia, sesuai ketentuan pemerintah tentang LCGC," tukas Presdir PT Geely Mobil Indonesia Hosea Sanjaya.

Potensi Besar
Dalam lima tahun terakhir permintaan kendaraan kompak 1.500 cc ke bawah mengalami perkembangan yang cukup pesat, seiring dengan meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM) dan kebutuhan akan kendaraan yang irit namun nyaman dan enak dikendarai.

Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) pada 2006 penjualan kendaraan kompak tersebut baru mencapai 35.786 unit, kemudian tumbuh 25,4 persen menjadi 44.888 unit pada 2007, dan melonjak 72,2 persen menjadi 77.298 unit pada 2008.

Pada 2009, permintaan turun menyusul krisis keuangan dunia yang berdampak pada ekonomi Indonesia, sehingga penjualan kendaraan kompak hanya menembus angka 42.866 unit.

Namun pada 2010 permintaan kendaraan jenis itu bangkit kembali seiring dengan pulihnya permintaan otomotif nasional, sehingga penjualan kendaraan kompak naik sekitar 80 persen menjadi 77.252 unit.

Pada 2011, penjualan segmen kendaraan 4x2 kompak itu kembali tumbuh dengan angka 24 persen menjadi 96.457 unit, dan pada Januari sampai Agustus 2012 penjualannya telah menembus angka 74.886 unit.

Penjualan kendaraan kompak tersebut diyakini salah satu Ketua Gaikindo, Johnny Darmawan akan terus meningkat, seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi, lanjut dia, banyak para produsen mobil mulai masuk ke segmen ini dengan model-model terbaru mereka.

Sebelum Astra Toyota Agya dan Astra Daihatsu Ayla, sejumlah produsen yang juga gencar masuk ke segmen ini adalah Honda melalui Brio dan Mitsubishi melalui Mirage yang diproduksi di Thailand.

Pertumbuhan pasar di segmen ini, diperkirakan juga akan semakin tinggi dengan adanya mobil murah yang diinisiasi Kementerian Perindustrian (Kemenperin) lewat program LCGC untuk memperluas tingkat kepemilikan mobil di Indonesia yang kini baru mencapai 1:20.

"Banyak pengendara sepeda motor juga ingin naik kelas, memiliki mobil dengan harga terjangkau, di bawah Rp100 juta per unit," tutur Johnny. Dengan harga dibawah Rp100 juta per unit maka konsumen bisa memiliki mobil dengan cicilan Rp2,5 juta per bulan selama tiga tahun.

Namun setelah lebih dua tahun, paket kebijakan LCGC tersebut belum terlihat akan diluncurkan. Bahkan Wapres Boediono tidak juga menyentuh tataran itu dalam pidato pembukaan IIMS Jumat lalu. Meskipun Menperin MS Hidayat berusaha meyakinkan kalangan pelaku industri otomotif bahwa paket kebijakan itu akan segera dikeluarkan dalam tahun ini.

Nampaknya, pemerintah tidak serius atau masih ragu mengembangkan LCGC di Indonesia yang sudah lebih dulu dikembangkan Thailand, meskipun pasar mobil kompak yang "murah" tersebut diperkirakan akan semakin berkembang di Indonesia. Akan kah pemerintah membiarkan pasar yang besar di negeri ini dinikmati negara lain?
Nama : Mathias arfan S. djemana

TAWURAN PELAJAR MEMPRIHATINKAN DUNIA PENDIDIKAN (BI-01-SS-12)



Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.
DAMPAK PERKELAHIAN PELAJAR
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
PANDANGAN UMUM TERHADAP PENYEBAB PERKELAHIAN PELAJAR
Sering dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
TINJAUAN PSIKOLOGI PENYEBAB REMAJA TERLIBAT PERKELAHIAN PELAJAR
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.

Sumber                : http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/258-tawuran-pelajar-memprihatinkan-dunia-pendidikan.html

Nama : mathias arfan S.djemana

KELEMAHAN KPK(BI-01-SS-12)



Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi sinyal bahwa ada beberapa kelemahan dalam pengelolaan lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan). Kelemahan terserbut adalah kelembagaan, tata laksana, sumber daya manusia, dan aspek rentan tindak pidana korupsi.
Wakil Ketua KPK, M Jasin, Rabu (17/2) di Jakarta, membeberkan empat kelemahan pengelolaan lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan), yaitu kelemahan aspek kelembagaan, tata laksana, sumber daya manusia, dan aspek rentan tindak pidana korupsi.
“Keempat kelemahan itu, sebagai tindak lanjut dari observasi lapangan yang dilakukan oleh tim KPK di sejumlah lapas dan rutan,” ujar Jasin.
Ia menuturkan, observasi lapangan dan studi dokumen perundang-undangan itu dilakukan sejak Juli 2009 sampai Desember 2009 di Lapas Klas IA Malang, Lapas Klas I Medan, Rutan Klas I Medan, dan Lapas Klas I Cipinang, Jakarta.
“Ke-empat kelemahan tersebut dapat dibagi menjadi sejumlah kelemahan yang lebih rinci. Misalnya kelemahan pada aspek kelembagaan, itu disebabkan karena belum ada kode etik dan perilaku khusus di lembaga pemasyarakatan,” urai Jasin.
Sementara kelemahan pada aspek tata laksana, menurut Jasin, disebabkan oleh rendahnya tingkat keterbukaan informasi tentang pemberian hak tahanan dan narapidana, rendahnya pemanfaatan sistem teknologi informasi dalam pelayanan, dan belum adanya aturan internal tentang ukuran kepuasan pengunjung.
Kemudian, kelemahan aspek sumber daya manusia disebabkan oleh keterbatasan jumlah petugas keamanan, tenaga kesehatan, dan pendidik. Sedangkan kelemahan aspek rentan korupsi adalah tingkat hunian yang melebihi kapasitas dan kelemahan pengawasan melekat.
Menanggapi hal itu, Inspektur Jenderal Kementerian Hukum dan HAM, Sam L. Tobing, membenarkan, adanya kelemahan tersebut. “Hampir 200 orang pegawai Ditjen Pemasyarakatan telah dikenai hukuman disiplin selama 2009,” ungkap Tobing.
Hal senada juga dikatakan Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Untung Sugiyono. Ia menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai perbaikan. “Masukan yang diberikan oleh KPK akan menyempurnakan perbaikan tersebut. Kami juga telah menindak pegawai yang bermasalah, dan melakukan berbagai pencegahan,” tegas Untung.
Disinggung soal pemerintah akan memberikan bantuan Rp. 1 triliun untuk pembenahan lapas dan rutan. Untung menjelaskan, dana itu utamanya untuk penambahan ruangan di lapas dan rutan yang kelebihan kapasitas, seperti Riau, Sumatra Barat, dan DKI Jakarta.
“Kemudian, sisa dana akan dialokasikan untuk melanjutkan pembangunan dan perbaikan rutan dan lapas yang belum selesai,” ungkapnya.

Sumber : http://vetonews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2267:KPK%20Temui%20Empat%20Kelemahan%20Pengelolaan%20LAPAS%20Dan%20RUTAN&catid=1:headline&Itemid=34

Nama :  Mathias arfan S. djemana(28210894)